Compang Liang Ndara
Compang Liang Ndara
Oleh : Maria Yohana Juita,S.Pd
Gua Liang Ndara merupakan tempat sejarah peninggalan nenek moyang sekitar jutaan tahun yang lalu. Gua Liang Ndara ini terletak di sebuah kampung yang tidak jauh dari Kota Labuan Bajo tepatnya di kampung Wae Moto desa Compang Liang Ndara. Tentunya nama kampung ini bukan sekadar nama melainkan memiliki sebuah kenyataan yang memiliki keunikan tersendiri. Sebuah desa yang memiliki beragam keunikan. Sebuah desa yang tidak asing bagi setiap orang yang mendengar namanya yang terletak di kampunh Wae Moto. Semua terasa indah saat kesempatan membawa seseorang untuk berkeliling sejenak di sekitar kampung Wae Moto. Kebanyakan orang masih belum mengenal jauh lebih dalam tentang keunikan yang tersembunyi di dalam desa ini. Padauan sensasi alam yang nampak dari beragai tempat yang tertata rapi yang terselebung dalam kampung ini. Di antaranya berbagai objek wisata yang masih belum dikenal yaitu "compang Liang Ndara, Gua Liang Ndara, pesona alam Lengkong Ta’al, dan Gua Liang Rodak "
Berbagai bentuk harta yang tersembunyi di desa Wae Moto. Salah satu hal yang paling menarik adalah sensasi alam yang terpancar dari Gua Liang Ndara dan Compang Liang Ndara. Gua Liang Ndara merupakan sebuah peninggalan bersejarah yang masih belum banyak diketahui di kalangan masyarakat saat ini. Gua Liang ndara merupakan sebuah tempat tinggal nenek moyang jutaan tahun yang lalu dan memiliki banyak sejarah. Begitu banyak hal yang menjadi istimewa saat berkunjung ke tempat ini yang membuat mata merasa dimanjakan dengan panorama yang sangat luar biasa. Banyak hal yang kita temukan,misalnya sarang kelelawar, pintu masuk/lorong gua yang berjejer rapi ketika masuk menuju ke dalam gua,dan batu kristal yang bergantungan di dinding gua. Semuanya sangat indah. Batu kristal yang sangat indah ketika cahaya senter atau lampu didekatkan dengan kristal-kristal membuat mata semakin dimanjakan. Dari sarang kelelewar yang yang bergantungan di dinding gua dengan ditambah dengan gumpalan kotoran kelelawar yang diyakini oleh masyarakat setempat unttuk diambil menjadi pupuk alami bagi masyarakat sekitar untuk menanam sayuran. Selain itu, di dalam gua terdapat sebuah kolam air yang cukup luas. Untuk masuk dan melihat air di dalam gua memang sangat sulit karena ukuran pintu masuknya sangat kecil tetapi ketika kita sudah sampai di dalam ruangannya cukup luas.
Salah satu hal yang sangat unik di sekitar gua Liang Ndara adalah sebuah tempat yang sakral yang diyakini warga sekitar sebagai tempat yang sakral yang dinamakan “Ternareng”. Beberapa hal yang berkaitan dengan tempat Ternareng yang merupakan tempat persembahan nenek moyang untuk menghormati para leluhur tentu menjadi sebuah keunikan tersendiri. Ketika kita melihat secara langsung di sekitar tempat Ternareng terdapat tiga kuburan, yang terdiri dari kuburan Empo Joge dan Istrinya dan di bawah kaki kuburan terdapat sebuah kuburan dari seorang hamba yang setia mengikutinya. Salah satu kebiasaan yang menjadi sebuah tradisi bagi masyrakat di desa compang liang ndara yaitu, melakukan ritual adat saat mengadakan pembuatan uma/lodok weru pembukaan kebun baru. Selain itu juga saat mengadakan sebuah acara besar di kampung yang mengadakan tarian caci maka terlebih dahulu harus mengadakan upacara” tutung lilin di compang ternareng”.
Berikut ini sejarah singkat dari “Compang Liang Ndara*
Konon pada Zaman dahulu sekitar jutaan tahun yang lalu sepasang suami istri dan bersama dua orang adiknya yang terdiri satu adik laki-laki dan satu adik perempuan yang berasal dari sulawesi selatan. Suaminya bernama Joge yang aslinya berasal dari Sulawesi Selatan dan istrinya berasal dari Sumba. Mereka datang ke Manggarai dengan sebuah alasan dan tujuan bahwa mereka datang dari sulawasi selatan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya serta melihat kondisi alam yang memungkinkan untuk bertahan hidup. Waktu perjalanan mereka memang cukup lama. Pertama kali mereka datang dari sulewesi selatan dan berlabuh di Gorontalo tepatnya di Nanga Tere selanjutnya mereka ke Gorontalo. Sesampainya di di sana mereka terus melanjutkan perjalananya sampai ke Cunga Dompo . Setelah itu mereka melanjutkan perjalannya sampai ke Watu Panggal. Waktu terus berlalu sehingga pada suatu ketika saudari perempuan dari Empo Joge melanjutkan perjalanan menuju Reo. Melihat suasana dan kondisi alam yang sangat indah di Reo saudari Empo Joge memutuskan untuk tinggal dan menetap di Reo. Selain itu juga, saudara dari Empo Joge memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Kempo Lamung. Sesampainya di sana melihat situasi dan kondisi alam yang sangat indah. Saudara Empo Joge memutuskan untuk tinggal dan menetap di Lamung. Sedangkan Empo Joge melanjutkan perjalanan ke Liang Ndara (yang berada di kampung Wae Moto). Melihat susana gua yang indah dan sangat cocok untuk dijadikan tempat tinggal. Mereka memutuskan untuk menetap dan tinggal di gua Liang Ndara bersama dengan seorang hamba pengikut setiannya.
Waktu terus berlalu Empo Joge dan istrinya beserta hambanya sangat bahagia dengan alam yang sangat indah dan alam yang sangat membantu kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan bantuan seorang hamba yang setia membantu mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari membuat kehidupan mereka begitu mudah dalam mencarii makanan. Seiring waktu berlalu Empo Joge dan istrinya dikarunia seorang anak laki-laki yang bernama Ndara (sekarang nama Ndara ini menjadi nama gua yang menjadi Gua Liang Ndara). Kemudian Ndara menikah dengan Sara (sekarang menjadi sebuah tempat yang bernama Tondong Psari yang terletak sebelah utara di ujung kampung Wae Moto) yang merupakan anak dari Empo Longgo (sekarang menjadi tempat yang bernama Tondong Longgo).
Waktu terus berganti untuk mempertahankan hidupnya Kakek Joge dan Istrinya mencari makanan dengan berburu. Mereka lalu mendirikan sebuah tempat persembahan yang disebut “Ternareng”. Dengan keyakinan yang ada mereka sangat percaya kepada leluhur bahwa, segala kebutuhana mereka akan terpenuhi. Sebagai tanda penghormatan kepada leluhur kemudian mereka mendirikan sebuah compang altar/ mesbah. Mereka menyususun batu dalam bentuk lingkaran dan di tengahnya terdapat pohon Mbuhung. Pohon ini sudah berumur seikitar jutaan tahun. Tetapi ukurannya tidak pernah berubah dan tetap sama semenjak dahulu hingga saat ini. Di tempat inilah Empo Joge dan istrinya selalu melakukan ritual untuk menghormati para leluhur. Pohon Mbuhung ini kalau kita lihat sekarang sudah ditumbuhi banyak lumut di sekelilingnya. Di tempat inilah mereka selalu melakukan ritual sebelum pergi berburu dan begitu juga setelah pulang berburu terlebih dahulu mempersembahkan kepada leluhur hasil tangkapan mereka.
Semakin hari semakin banyak anggota atau keturunan dari empo Joge. Melihat itu empo joge memutuskan untuk sebagiannya berpindah ke Lamung bagian kempo. Setelah beberapa puluhan tahun semakin banyak keturunan di kampung Lamung. Setelah beberapa puluh tahun kemudian sebagian orang berpindah ke Loha. Oleh karena itu, mereka memutuskan kepada sebagian orang untuk kembali lagi ke Liang Ndara tepatnya di Beo Manga (sebuah kampung pertama sebelum pemekaran menjadi kampung Wae Moto saat ini). Waktu terus berlanjut hingga beberapa puluhan tahun berlalu beo manga kemudian berpindah ke sebuah tempat baru yaitu kampung Wae Moto.
Komentar
Posting Komentar